Sabtu, 28 April 2012

SISTEM TANAM PAKSA (CULTUURSTESEL)


SISTEM TANAM PAKSA (CULTUURSTESEL)


Sistem tanam paksa adalah sistem yang mulai diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasilnya akan dijual kepada Pemerintah Kolonial dengan  harga yang telah ditetapkan dan dipastikan hasil panen dijual kepada Pemerintah Kolonial. Hakikat Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai pengganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah itu. Menurut perkiraan, penduduk menyerahkan 2/5 dari hasil panen mereka yang utama atau sebagai gantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun. Dengan dijalankan Cultuurstelsel ini diharapkan bahwa Pemerintah Kolonial akan terjamin akan kebutuhan hasil buminya dan akan diekspor ke pasaran Eropa sehingga Pemerintah Kolonial mengharapkan keuntungan – keuntungan yang nyata. Van den Bosch mempunyai harapan besar akan mendapat keuntungan dari sistem itu dan didasarkan pada keuntungan.[1]
Dijalankannya sistem Cultuurstelsel disesuaikan dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada dan kembalinya kaum bangsawan ke posisi yang lama. Kaum Bangsawan membawa pengaruh yang sebagai penggerak rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan – pekerjaan yang diminta oleh Pemerintah. Kekuasaan mereka berbeda dari yang terdahulu, karena mereka sekarang diawasi dan ditempatkan dibawah kekuasaan pegawai – pegawai Belanda. Dijumpai suatu sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu sistem pemerintahan melalui kepala – kepal pribumi. Pemerintahan ini berdasarkan prinsip dengan tidak ikut campur dalam institusi – institusi pribumi. Politik ini didasarkan pada prinsip non-akulturasi yang dijalankan sampai akhirnya rezim Belanda. [2]
 Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch didasarkan pada wajib atau paksa dan prinsip monopoli. Prinsip yang pertama adalah prinsip yang telah digunakan di Periangan yaitu terkenal dengan nama Preanger-Stelsel atau sistem yang dipakai oleh VOC Verplichteleveranties (penyerahan wajib). Diartikan bahwa Sistem Tanam Paksa merupakan sistem tradisional dan feodal dengan menggunakan perantara struktur kekuasaan lama. Prinsip yang kedua yang member hak monipoli kepada Nederlandsche-Handels Maatschappij sebagai yang diberikan wewenang oleh Pemerintah dalam produksi pengangkutan dan perdagangan hasil ekspor Jawa. Menurut Van Den Bosch dalam pengarahan tenaga kerja secara besar – besaran dapat berjalan dan penanaman hasil untuk ekspor Pemerintah terjamin. Rakyat menghasilkan hasil lebih banyak daripada mengeluarkan tenaga kurang daripada dalam sistem lama. Konsep ekonomi politik Van Den Bosch berdasarkan pengalaman – pengalaman dari pemimpin – pemimpin yang sudah mendahuluinya, maka dapat mencakup dari gagasan pokok mereka tanpa mengabaikan realitas yang dihadapi di Jawa. [3]
Sistem Tanam Paksa merupan pungutan tidak dalam bentuk uang, akan tetapi lebih berupa in-natura, mengingat sistem ekonomi uang di pedalaman Jawa belum begitu  berkembang pada masa itu. Rencana Van Den Bosch ialah bahwa Sistem Tanam Paksa dilaksankan dalam organisasi pedesaan sebgai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan produksi. Tanah dan tenaga di pedesaan merupakan faktor sumber daya utama dalam produksi, maka faktor penggeraknya perlu dicari dari lingkungan  pedesaan. Organisasi desalah yang dapat dimanfaatkan secara efektif, seperti terwujudnya lembaga kepemilikan tanah serta hak dan kewajiban yang tercakup didalamnya, lembaga pengerahan tenaga kerja dengan sistem sambatan, gotong royong, gugur gunung atau kerig-aji; ikatan komukal yang menjadi solidaritas desa. Pengaruh kepala desa sebagai perantara warga desa dan luar desa diperkuat dengan diikutsertakannya dalam Sistem Tanam Paksa. Adanya Sistem Tanam Paksa ini kekuasaan bupati bertambah kuasa lagi. Dengan perkembangan administrasi kolonial maka jumlah pegawai Eropa menjadi lebih banyak dan terpencar dipedalaman, sehingga ada pengawasan oleh para residen dan pembantunya, asisten residen dan kontrolir terhadap tingkah laku bupati serta bawahannya.[4]
Sistem Tanam Paksa yang sebenarnya yaitu petani dibebaskan dari pajak tanah dan sebagai gantinya harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada seperlima tanahnya atau sebagai alternatife. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultuurstelstel tetap dikenakan pajak. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan. Sistem Tanam Paksa bawasannya sistem itu kejam, korup dan tidak ekonomis. Dengan sistem ini dapat dikatakan semua tanaman yang pada waktu itu membawa keuntungan dan mudah diusahakan seperti kopi, teh, tebu, tembakau, lada, kina, kapas, sutera, kayu manis dikenakan pajak.
Tanaman yang dipaksakan pada Sistem Tanam Paksa digolongan menjadi dua kategori, yaitu tanaman tahunan yang dapat ditanam di sawah bergiliran dengan padi, seperti tebu, nila, tembakau. Tanaman yang kedua adalah tanaman keras yaitu tanaman yang berumur panjang, seperti kopi, teh, lada serta kayu manis. Dalam Sistem Tanam Paksa beserta dalam tambahannya, pengawasan politik lebih – lebih didaerah persawahan yang sudah mapan, sudah cukup luas dalam penanaman tebu rakyat yang merupakan masalah pokok adalah membatasi tekanan – tekanan sektor perdagangan agar para petani tidak meninggalkan tanah mereka sama sekali. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
            Dilihat dari segi perkembangan Sistem Tanam Paksa merupakan suatu usaha untuk membangun ekonomi perkebunan dengan kaum petani dan akhirnya berhasil. Sistem Tanam Paksa itu membangun prasarana ekonomi ekspor sehingga pengusahaan swasta yang pada mulanya menghadapi rintangan kekurangan modal. Banyak perkebunan di Hindia Belanda yang sukses bukan berkat kebangkitan kembali ekonomi Belanda. Rencana Van Den Bosch yang sederhana itu diperhitungkan harus cukup untuk membayar hutang sewa tanah yang bersangkuatan. Van Den Bosch menyinggung komitmen kerja orang Jawa yang diharapkan dapat dicurahkan untuk Sistem Tanah Paksa. Pada umumnya tenaga kerja akan digunakan dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan tanaman dagang pemerintah, serta dipakai dalam mempersiapkan lahan, membuka lahan baru dan memperluas kawasan tanah irigasi.
            Pengaruh Tanam Paksa pada masyarakat secara toretis Sistem Tanam Paksa secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati. Hubungan antara atasan dan bawahan juga penguasa Belanda dengan Jawa, berlaku menurut hirarki feodal. Unsur – unsur kekuasaan pada tingkat – tingkat diantara tidak mungkin dilampaui begitu saja tanpa menimbulkan hambatan dalam perintah dari atas dan hasil tanaman dari bawah, dalam hal ini hubungan yang ditentang para Bupati pada Sistem Tanam Paksa.  Penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa agak dipersempit yaitu dengan cara mengawasi dan menjamin produksi. Organisasi dan lembaga yang tradisional dipergunakan dalam Sistem Tanam Paksa untuk mengatur produksi yang tinggi. Pemantapan lembaga – lembaga desa pada salah satu dan tambahan beban kepda rakyat pada pihak lain, menimbulkan beberapa yang bermacam – macam, antara lain:
·         Kecenderungan untuk pemerataan pemilikan tanah
·         Perpindahan ke daerah lain
·         Penggabungan dan perpisahan desa
Sesuai dengan Sistem Tanam Paksa sebagai cara produksi feodal keutuhan desa selaku organisme social serta selaku masyarakat yang terpelihara.
            Hasil – hasil dari Cultuurstelsel bagi Negeri Belanda sangat memuaskan, antara tahun 1831-1877 negara menerima dari daerah – daerah jajahan kekayaan sebesar 823 juta gulden.  Sistem ini sangat menguntungkan bagi Belanda, Belanda dapat menempati kembali posisinya sebagai pusat penjualan bahan mentah armada dagangnya menjadi tiga diseluruh dunia. Reaksi terhadap Cultuurstelsel mendapat tanggapan baik, baik dalam perdebatan di parlemen maupun di sejumlah tulisan yang mengutuk habis – habisan sistem beserta konsekuensinya. [5]
            Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870. Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa.
            Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa. Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries atas kajiannya mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa.
            Pada masa Sistem Tanam Paksa ada niat untuk meratakan pemilikan tanah, lagi pula banyak timbulnya tanah  kolonial. Banyak tekanan dari luar dapat diselesaikan tanpa mengubah keutuhan desa tanpa mengubah peranan desa sebagai penyambung. Akibat dari keadaan itu adalah pertama proses mengarahkan desa ke luar terlambat serta proses modernisasinya. Kedua, Sistem Tanam Paksa lebih perkembangan desa yang terarah ke dalam karena dengan demikian dapat berfungsi sebagai alat produksi yang efektif. Ketiga, dalam situasi seperti ini peranan kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat dari kenyataan bahwa mendapat dukungan dari penguasa diatasnya, baik Belanda maupun pribumi.[6]
            Kekuasaan Sistem Tanam Paksa kepada para administrator lokal mengalami perubahan. Usaha Van Den Bosch untuk tetap memegang semua kekuasaan dalam pembuatan kebijakan dan pengangkatannya menjadi Menteri Urusan Jajahan pada 1834 menyulitkan pemerintah Kolonial di Batavia yang bertindak lebih keras. Kebutuhan yang semakin banyak karean disebabkan adanya Perang Belgia mendorong setiap orang untuk hati – hati dalam upaya memperluas Sistem Tanam Paksa. Peraturan dan kontrol terhadap aspek –aspek produktif Sistem Tanam Paksa jelas telah berpindah ke tangan administrator Eropa dan Jawa tingkat Karisidenan dan Kabupaten. [7]
            Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel. Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:
1) Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2) Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3) Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5) Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6) Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
            Intensitas penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa perlu diketahui[8] luas tanah yang akan dipakai untuk Tanam Paks, berapa jumlah tenaga yang dikerahkan, berapa waktu yang akan dibutuhkan untuk bekerja, pengeluaran biaya. Luas tanah yang ditanami lada, nopal, dan murbai seluruh area yang dipergunakan dalam Tanam Paksaada kira – kiar 50.000 bau. Luas tanah yang ditanami tebu kurang lebih 405.610 bau. Pada tahun 1840 penduduk yang terlibat dalam Sistem Tanah Paksa terkecuali kopi, terutama gula dan tom ada kurang lebih 25% dan tanah persewaan yang digunakan 6%.
            Melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa:
1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani. Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.
           

           
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia. 1987.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid II. Jakarta: Gramedia. 1999.
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa Di Jawa: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2003.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1983.


Diakses dari alamat internet sebagai berikut:



[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme  Jilid II, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 13
[2] Sartono Kartodirdjo, op. cit.,  h. 14
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium Jilid I, ( Jakarta: Gramedia, 1987) ,hal 306
[4] Sartono Kartodirdjo, op. cit.,h. 307-308
[5] Sartono Kartodirdjo, op. cit,. h. 15
[6] Sartono Kartodirdjo, op. cit,. h. 311
[7] Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa Di Jawa; Kumpulan Tulisan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal 82-83
[8] Sartono Kartodirdjo, op. cit,. h. 313-314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar