SISTEM TANAM PAKSA (CULTUURSTESEL)
Sistem
tanam paksa adalah sistem yang mulai diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den
Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi,
tebu,
dan tarum (nila). Hasilnya akan dijual kepada
Pemerintah Kolonial dengan harga yang
telah ditetapkan dan dipastikan hasil panen dijual kepada Pemerintah Kolonial. Hakikat
Cultuurstelsel adalah bahwa penduduk, sebagai pengganti membayar pajak tanah
sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak
tanah itu. Menurut perkiraan, penduduk menyerahkan 2/5 dari hasil panen mereka
yang utama atau sebagai gantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun. Dengan
dijalankan Cultuurstelsel ini diharapkan bahwa Pemerintah Kolonial akan
terjamin akan kebutuhan hasil buminya dan akan diekspor ke pasaran Eropa
sehingga Pemerintah Kolonial mengharapkan keuntungan – keuntungan yang nyata. Van
den Bosch mempunyai harapan besar akan mendapat keuntungan dari sistem itu dan
didasarkan pada keuntungan.
Dijalankannya sistem Cultuurstelsel disesuaikan
dengan adat kebiasaan pribumi yang telah ada dan kembalinya kaum bangsawan ke
posisi yang lama. Kaum Bangsawan membawa pengaruh yang sebagai penggerak
rakyat, memperbesar produksi, dan menjalankan pekerjaan – pekerjaan yang
diminta oleh Pemerintah. Kekuasaan mereka berbeda dari yang terdahulu, karena
mereka sekarang diawasi dan ditempatkan dibawah kekuasaan pegawai – pegawai
Belanda. Dijumpai suatu sistem pemerintahan tidak langsung, yaitu sistem
pemerintahan melalui kepala – kepal pribumi. Pemerintahan ini berdasarkan
prinsip dengan tidak ikut campur dalam institusi – institusi pribumi. Politik
ini didasarkan pada prinsip non-akulturasi yang dijalankan sampai akhirnya
rezim Belanda.
Sistem Tanam
Paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch didasarkan pada wajib atau paksa dan
prinsip monopoli. Prinsip yang pertama adalah prinsip yang telah digunakan di
Periangan yaitu terkenal dengan nama Preanger-Stelsel
atau sistem yang dipakai oleh VOC Verplichteleveranties
(penyerahan wajib). Diartikan bahwa Sistem Tanam Paksa merupakan sistem
tradisional dan feodal dengan menggunakan perantara struktur kekuasaan lama.
Prinsip yang kedua yang member hak monipoli kepada Nederlandsche-Handels Maatschappij sebagai yang diberikan wewenang
oleh Pemerintah dalam produksi pengangkutan dan perdagangan hasil ekspor Jawa.
Menurut Van Den Bosch dalam pengarahan tenaga kerja secara besar – besaran
dapat berjalan dan penanaman hasil untuk ekspor Pemerintah terjamin. Rakyat
menghasilkan hasil lebih banyak daripada mengeluarkan tenaga kurang daripada
dalam sistem lama. Konsep ekonomi politik Van Den Bosch berdasarkan pengalaman
– pengalaman dari pemimpin – pemimpin yang sudah mendahuluinya, maka dapat
mencakup dari gagasan pokok mereka tanpa mengabaikan realitas yang dihadapi di
Jawa.
Sistem Tanam Paksa merupan pungutan tidak dalam
bentuk uang, akan tetapi lebih berupa in-natura, mengingat sistem ekonomi uang
di pedalaman Jawa belum begitu berkembang
pada masa itu. Rencana Van Den Bosch ialah bahwa Sistem Tanam Paksa dilaksankan
dalam organisasi pedesaan sebgai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan
produksi. Tanah dan tenaga di pedesaan merupakan faktor sumber daya utama dalam
produksi, maka faktor penggeraknya perlu dicari dari lingkungan pedesaan. Organisasi desalah yang dapat
dimanfaatkan secara efektif, seperti terwujudnya lembaga kepemilikan tanah
serta hak dan kewajiban yang tercakup didalamnya, lembaga pengerahan tenaga
kerja dengan sistem sambatan, gotong royong, gugur gunung atau kerig-aji; ikatan komukal yang menjadi
solidaritas desa. Pengaruh kepala desa sebagai perantara warga desa dan luar
desa diperkuat dengan diikutsertakannya dalam Sistem Tanam Paksa. Adanya Sistem
Tanam Paksa ini kekuasaan bupati bertambah kuasa lagi. Dengan perkembangan
administrasi kolonial maka jumlah pegawai Eropa menjadi lebih banyak dan
terpencar dipedalaman, sehingga ada pengawasan oleh para residen dan
pembantunya, asisten residen dan kontrolir terhadap tingkah laku bupati serta
bawahannya.
Sistem Tanam Paksa yang sebenarnya yaitu petani dibebaskan dari pajak
tanah dan sebagai gantinya harus menanam tanaman ekspor milik pemerintah pada
seperlima tanahnya atau sebagai alternatife. Wilayah yang digunakan untuk
praktek cultuurstelstel tetap dikenakan pajak. Sistem tanam paksa ini
jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan
sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas
pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah
penjajahan. Sistem Tanam Paksa bawasannya sistem itu kejam, korup dan tidak
ekonomis. Dengan sistem ini dapat dikatakan semua tanaman yang pada waktu itu
membawa keuntungan dan mudah diusahakan seperti kopi, teh, tebu, tembakau,
lada, kina, kapas, sutera, kayu manis dikenakan pajak.
Tanaman
yang dipaksakan pada Sistem Tanam Paksa digolongan menjadi dua kategori, yaitu
tanaman tahunan yang dapat ditanam di sawah bergiliran dengan padi, seperti
tebu, nila, tembakau. Tanaman yang kedua adalah tanaman keras yaitu tanaman
yang berumur panjang, seperti kopi, teh, lada serta kayu manis. Dalam Sistem
Tanam Paksa beserta dalam tambahannya, pengawasan politik lebih – lebih
didaerah persawahan yang sudah mapan, sudah cukup luas dalam penanaman tebu
rakyat yang merupakan masalah pokok adalah membatasi tekanan – tekanan sektor
perdagangan agar para petani tidak meninggalkan tanah mereka sama sekali. Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Dilihat dari segi perkembangan
Sistem Tanam Paksa merupakan suatu usaha untuk membangun ekonomi perkebunan
dengan kaum petani dan akhirnya berhasil. Sistem Tanam Paksa itu membangun prasarana
ekonomi ekspor sehingga pengusahaan swasta yang pada mulanya menghadapi
rintangan kekurangan modal. Banyak perkebunan di Hindia Belanda yang sukses
bukan berkat kebangkitan kembali ekonomi Belanda. Rencana Van Den Bosch yang
sederhana itu diperhitungkan harus cukup untuk membayar hutang sewa tanah yang
bersangkuatan. Van Den Bosch menyinggung komitmen kerja orang Jawa yang
diharapkan dapat dicurahkan untuk Sistem Tanah Paksa. Pada umumnya tenaga kerja
akan digunakan dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan tanaman dagang
pemerintah, serta dipakai dalam mempersiapkan lahan, membuka lahan baru dan
memperluas kawasan tanah irigasi.
Pengaruh Tanam Paksa pada masyarakat
secara toretis Sistem Tanam Paksa secara langsung akan membentuk hubungan
langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati. Hubungan
antara atasan dan bawahan juga penguasa Belanda dengan Jawa, berlaku menurut
hirarki feodal. Unsur – unsur kekuasaan pada tingkat – tingkat diantara tidak mungkin
dilampaui begitu saja tanpa menimbulkan hambatan dalam perintah dari atas dan
hasil tanaman dari bawah, dalam hal ini hubungan yang ditentang para Bupati
pada Sistem Tanam Paksa. Penyelenggaraan
Sistem Tanam Paksa agak dipersempit yaitu dengan cara mengawasi dan menjamin
produksi. Organisasi dan lembaga yang tradisional dipergunakan dalam Sistem
Tanam Paksa untuk mengatur produksi yang tinggi. Pemantapan lembaga – lembaga
desa pada salah satu dan tambahan beban kepda rakyat pada pihak lain, menimbulkan
beberapa yang bermacam – macam, antara lain:
·
Kecenderungan
untuk pemerataan pemilikan tanah
·
Perpindahan
ke daerah lain
·
Penggabungan
dan perpisahan desa
Sesuai
dengan Sistem Tanam Paksa sebagai cara produksi feodal keutuhan desa selaku
organisme social serta selaku masyarakat yang terpelihara.
Hasil – hasil dari Cultuurstelsel bagi Negeri Belanda
sangat memuaskan, antara tahun 1831-1877 negara menerima dari daerah – daerah
jajahan kekayaan sebesar 823 juta gulden.
Sistem ini sangat menguntungkan bagi Belanda, Belanda dapat menempati
kembali posisinya sebagai pusat penjualan bahan mentah armada dagangnya menjadi
tiga diseluruh dunia. Reaksi terhadap Cultuurstelsel
mendapat tanggapan baik, baik dalam perdebatan di parlemen maupun di
sejumlah tulisan yang mengutuk habis – habisan sistem beserta konsekuensinya.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung.
Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870. Serangan-serangan dari
orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan
kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke
permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan terhadap bumiputra Jawa.
Spesialisasi tanam paksa ini
dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau
mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian.
Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang
berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja
petani kita di Pulau Jawa. Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil
yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi
Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam
masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup
memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara
vertikal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries atas kajiannya
mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan
petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5%
dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau
proletariat desa.
Pada masa Sistem Tanam Paksa ada
niat untuk meratakan pemilikan tanah, lagi pula banyak timbulnya tanah kolonial. Banyak tekanan dari luar dapat
diselesaikan tanpa mengubah keutuhan desa tanpa mengubah peranan desa sebagai
penyambung. Akibat dari keadaan itu adalah pertama proses mengarahkan desa ke
luar terlambat serta proses modernisasinya. Kedua, Sistem Tanam Paksa lebih
perkembangan desa yang terarah ke dalam karena dengan demikian dapat berfungsi
sebagai alat produksi yang efektif. Ketiga, dalam situasi seperti ini peranan
kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat
dari kenyataan bahwa mendapat dukungan dari penguasa diatasnya, baik Belanda
maupun pribumi.
Kekuasaan Sistem Tanam Paksa kepada
para administrator lokal mengalami perubahan. Usaha Van Den Bosch untuk tetap
memegang semua kekuasaan dalam pembuatan kebijakan dan pengangkatannya menjadi
Menteri Urusan Jajahan pada 1834 menyulitkan pemerintah Kolonial di Batavia
yang bertindak lebih keras. Kebutuhan yang semakin banyak karean disebabkan
adanya Perang Belgia mendorong setiap orang untuk hati – hati dalam upaya
memperluas Sistem Tanam Paksa. Peraturan dan kontrol terhadap aspek –aspek
produktif Sistem Tanam Paksa jelas telah berpindah ke tangan administrator
Eropa dan Jawa tingkat Karisidenan dan Kabupaten.
Cultuurstelsel diberlakukan dengan
tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat.
Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini
pokok-pokok cultuurstelsel. Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:
1)
Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2) Lahan
tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3)
Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4)
Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh
melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5)
Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di
perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6) Jika
terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7)
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi
(kepala desa).
Intensitas penyelenggaraan Sistem
Tanam Paksa perlu diketahui luas
tanah yang akan dipakai untuk Tanam Paks, berapa jumlah tenaga yang dikerahkan,
berapa waktu yang akan dibutuhkan untuk bekerja, pengeluaran biaya. Luas tanah
yang ditanami lada, nopal, dan murbai seluruh area yang dipergunakan dalam
Tanam Paksaada kira – kiar 50.000 bau. Luas tanah yang ditanami tebu kurang
lebih 405.610 bau. Pada tahun 1840 penduduk yang terlibat dalam Sistem Tanah
Paksa terkecuali kopi, terutama gula dan tom ada kurang lebih 25% dan tanah
persewaan yang digunakan 6%.
Melihat pokok-pokok cultuurstelsel
dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di
lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi
penyimpangan. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam
paksa:
1) Tanah
yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah
yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3)
Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau
perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4)
Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika
terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani. Dalam pelaksanaannya, tanam
paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji
Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau
prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa
(penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi
ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus
sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi
dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga
memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900:
Dari Emporium sampai Imperium Jilid I. Jakarta: Gramedia. 1987.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid II.
Jakarta: Gramedia. 1999.
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa Di Jawa: Kumpulan Tulisan.
Jakarta: Pustaka LP3ES. 2003.
Geertz, Clifford. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi
Di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1983.
Diakses dari alamat
internet sebagai berikut:
Sartono Kartodirdjo, op. cit,. h. 313-314